BRAYO : Suminah menunjukkan buah brayo selepas memetiknya di kawasan hutan mangrove Desa Sambilawang. |
Trangkil, Pati Headline – Setiap seminggu sekali, Suminah (40) warga Desa Tlutup, Kecamatan Trangkil, Pati harus berjibaku diantara rerimbun tanaman mangrove hanya untuk memetik buah brayo di kawasan konservasi hutan mangrove yang berlokasi di Desa Sambilawang, Kecamatan Trangkil, Pati. Terhitung sudah 30 tahun lebih ia tekuni profesinya ini.
“Saya kan jualnya matang, jadi kalau sudah habis buah brayonya. Saya ambil
lagi di sini, lima hari kadang juga seminggu sudah mengunduh lagi,” tuturnya.
Berbekal karung dan pakaian tebal membalut seluruh tubuhnya, Suminah dengan
harapan dapat mengunduh buah brayo. Tanpa ragu, ia terjang hamparan
tanaman mangrove dengan berbagai marabahayanya. Pasalnya, tidak hanya lumpur
yang mampu menenggelamkan hingga paha orang dewasa, di sana juga banyak hewan
melata.
“Tadi lumpurnya cukup dalam soalnya semalam turun hujan, ini tadi sampai
paha. Kalau ular, biawak banyak di dalam sana. Saya kan ambilnya di dalam sana,
soalnya di luar sudah habis. Takut juga, dahulu ada rekan yang meninggal dunia
karena digigit ular berbisa,” beber Suminah.
Setelah karung bawaannya berisi setengah buah brayo dengan berat
berkilo-kilo, ia pun menyudahi perburuan buah dari tanaman rencek tersebut.
Suminah mengaku, untuk mendapatkan brayo hingga setengah karung, ia
harus memanen mulai pukul 6 pagi hingga 11 siang.
Sesampainya di rumah, ia pun merendam sebagian buah brayo buruannya
dengan air kapur selama berjam-jam. Setelah dirasa sudah cukup, buah tersebut
dicuci dan ditiriskan untuk kemudian dimasak. Proses selanjutnya, ia kupas
kulit buah bagian luar lalu di campur dengan parutan kelapa untuk dijual
keesokan harinya.
“Dimasak hingga matang, kalau sudah matang diurap sama krambil (parutan
kelapa -red). Dibungkus sama daun pisang untuk dijual di Pasar Kemiri,” jelas
Suminah.
Suminah mengaku, di Pasar Kemiri tiap bungkus brayo ia jual dengan
harga Rp 500. Hasilnya pun tak tentu kadang laku 35 bungkus kalau sepi, kadang
pula 100 bungkus saat ramai pembeli. Ia gelar dagangannya tersebut mulai jam
05.00 – 07.00 WIB.
Meski dengan hasil yang bisa dikata pas-pasan, Suminah tetap ikhtiar dalam
menjual olahan kudapan tradisional itu. Terhitung sudah 30 tahun ia menekuni
berjualan brayo.
“Saya sudah mencari dan jualan brayo sejak umur 10 tahun,
sekarang umur saya 40 tahun. Yang penting barokah,” kata ibu satu putri itu.
Olahan buah brayo ini, memiliki rasa mirip nasi ada manis, asin
dan pahit. Di jaman dahulu selain sebagai pengganti nasi, cemilan brayo ini
dipercaya warga sekitar mampu menyembuhkan berbagai penyakit perut seperti,
magh, lambung bahkan darah tinggi.
“Rasanya enak seperti nasi, adem begitu. Buah brayo ini sudah
asin dari sananya, jadi gak perlu dikasih garam, cuma ya ada pahitnya dikit.
Ini juga bisa dibuat obat untuk orang sakit magh maupun darah tinggi,” pungkas
Suminah. (*)