Memetik Rezeki di Hutan Mangrove

Memetik Rezeki di Hutan Mangrove

Kamis, 02 Mei 2019, Mei 02, 2019
BRAYO : Suminah menunjukkan buah brayo selepas memetiknya di kawasan hutan mangrove Desa Sambilawang.


Trangkil, Pati Headline – Setiap seminggu sekali, Suminah (40) warga Desa Tlutup, Kecamatan Trangkil, Pati harus berjibaku diantara rerimbun tanaman mangrove hanya untuk memetik buah brayo di kawasan konservasi hutan mangrove yang berlokasi di Desa Sambilawang, Kecamatan Trangkil, Pati. Terhitung sudah 30 tahun lebih ia tekuni profesinya ini.


“Saya kan jualnya matang, jadi kalau sudah habis buah brayonya. Saya ambil lagi di sini, lima hari kadang juga seminggu sudah mengunduh lagi,” tuturnya.

Berbekal karung dan pakaian tebal membalut seluruh tubuhnya, Suminah dengan harapan dapat mengunduh buah brayo. Tanpa ragu, ia terjang hamparan tanaman mangrove dengan berbagai marabahayanya. Pasalnya, tidak hanya lumpur yang mampu menenggelamkan hingga paha orang dewasa, di sana juga banyak hewan melata.

“Tadi lumpurnya cukup dalam soalnya semalam turun hujan, ini tadi sampai paha. Kalau ular, biawak banyak di dalam sana. Saya kan ambilnya di dalam sana, soalnya di luar sudah habis. Takut juga, dahulu ada rekan yang meninggal dunia karena digigit ular berbisa,” beber Suminah.

Setelah karung bawaannya berisi setengah buah brayo dengan berat berkilo-kilo, ia pun menyudahi perburuan buah dari tanaman rencek tersebut. Suminah mengaku, untuk mendapatkan brayo hingga setengah karung, ia harus memanen mulai pukul 6 pagi hingga 11 siang.

Sesampainya di rumah, ia pun merendam sebagian buah brayo buruannya dengan air kapur selama berjam-jam. Setelah dirasa sudah cukup, buah tersebut dicuci dan ditiriskan untuk kemudian dimasak. Proses selanjutnya, ia kupas kulit buah bagian luar lalu di campur dengan parutan kelapa untuk dijual keesokan harinya.

“Dimasak hingga matang, kalau sudah matang diurap sama krambil (parutan kelapa -red). Dibungkus sama daun pisang untuk dijual di Pasar Kemiri,” jelas Suminah.

Suminah mengaku, di Pasar Kemiri tiap bungkus brayo ia jual dengan harga Rp 500. Hasilnya pun tak tentu kadang laku 35 bungkus kalau sepi, kadang pula 100 bungkus saat ramai pembeli. Ia gelar dagangannya tersebut mulai jam 05.00  – 07.00 WIB.

Meski dengan hasil yang bisa dikata pas-pasan, Suminah tetap ikhtiar dalam menjual olahan kudapan tradisional itu. Terhitung sudah 30 tahun ia menekuni berjualan brayo.

“Saya sudah mencari dan jualan brayo sejak umur 10 tahun, sekarang umur saya 40 tahun. Yang penting barokah,” kata ibu satu putri itu.

Olahan buah brayo ini, memiliki rasa mirip nasi ada manis, asin dan pahit. Di jaman dahulu selain sebagai pengganti nasi, cemilan brayo ini dipercaya warga sekitar mampu menyembuhkan berbagai penyakit perut seperti, magh, lambung bahkan darah tinggi.

“Rasanya enak seperti nasi, adem begitu. Buah brayo ini sudah asin dari sananya, jadi gak perlu dikasih garam, cuma ya ada pahitnya dikit. Ini juga bisa dibuat obat untuk orang sakit magh maupun darah tinggi,” pungkas Suminah. (*)

TerPopuler