GEMA : Habib Anis Sholeh Baasyin, KH Abdul Ghofur Maimoen, Sabrang Mowo Damar Panuluh dan Sampak GusUran saat meramaikan DCF. |
BANJARNEGARA – Dieng Culture Festival (DCF)
berlangsung begitu meriah sejak Jumat (2/7) hingga Minggu (4/7) kemarin. Dalam
serangkaian acara, rupanya ada sajian yang cukup menarik. Yakni digelarnya
Ngaji Budaya yang dihelat di lapangan Candi Arjuna.
Musik selawat dengan iringan musik tradisi berbalut
modern yang dimainkan Sampak GusUran langsung menarik perhatian wisatawan dan
warga yang ada di kawasan wisata Dieng. Para wisatawan pun tampak tak sungkan
meski harus duduk lesehan di tengah lapangan hingga penuh sesak.
Kehadiran para narasumber yakni Habib Anis Sholeh
Baasyin dari Pati, KH Abdul Ghofur Maimoen Rembang serta Sabrang Mowo Damar
Panuluh membuat para wisatawan begitu antusias.
Kehebohan wisatawan semakin riuh setelah Sabrang
yang juga dikenal sebagai Noe Letto itu membuka diskusi dengan tembang “Ruang
Rindu”. Tak hanya itu Noe juga membawakan dua lagunya yakni “Sandaran Hati” dan
“Sebelum Cahaya”. Lokasi panggung yang tidak berjarak dengan penonton pun
membawa suasana begitu dekat.
Tak hanya dari hiburan musik yang dibawakan Noe
Letto dan Sampak GusUran saja, topik Ngaji Budaya yang disajikan pun mampu
membawa daya tarik tersendiri. Terlebih putra Mbah Maimoen Zubair juga turut
hadir disana.
Dalam pandangannya KH Abdul Ghofur Maimoen itu pun
mengingatkan jika salah satu risalah nabi adalah membawa kegembiraan. Sehingga
sudah sepatutnya orang beragama pastilah merasa gembira. “Oleh karenanya salah
satu ciri wali itu tidak pernah bersedih,” katanya.
Cara berbahagia lewat kebudayaan pun dinilai menjadi
sesuatu yang menyenangkan sekali. Seperti dengan digelarnya Dieng Culture
Festival itu sendiri. Bahkan masuknya Islam di Jawa pun tak lepas dari budaya.
Para wali memanfaatkan budaya untuk metode pengajaran agama.
“Lewat budaya justru akan lebih mudah diterima.
Itulah yang coba dilakukan. Islam Nusantara menjadi bagian agar Islam tidak
merusak budaya. Karena jika merusak budaya pastilah terjadi peperangan dan itu
bisa membahayakan,” terangnya
Selaras, Habib Anis Sholeh Baasyin juga melihat
agama sebagai ruh sementara budaya adalah badannya. Sehingga tidak sepatutnya
mempertentangkan antara kebudayaan dengan agama itu sendiri.
“Jawa sendiri memiliki kebudayaan yang selaras
dengan ajaran agama. Contoh kecil penggunaan bahasa kromo yang memiliki tiga
tingkatan. Yakni ngoko, kromo madya dan kromo inggil. Menyesuaikan kepada siapa
lawan mainnya. Seperti halnya dalam ajaran agama di mana harus saling
menghormati kepada yang tua dan mengasihi yang muda,” paparnya.
Indarto, Sekda Banjarnegara dalam sambutannya
menaruh harapan besar agar budaya dapat dipertahankan. Event Dieng Culture
Festival sendiri menjadi bentuk budaya yang diharapkan dapat menjadi ikon
Banjarnegara.
“Bahkan sekarang ini kami cukup yakin Dieng Culture
Festival mampu menjadi even internasional. Karena wisatawannya tak hanya dari
seluruh Indonesia saja tapi banyak juga yang datang dari manca negara,”
sebutnya. [Sesepuh/Fadil]